Kamis, 10 Desember 2015 0 komentar

Sekaten, Dulu dan Kini

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Kota Yogyakarta merupakan kota yang begitu kaya akan tradisi dan budayanya. Beberapa tradisi warisan leluhur pun bahkan masih dapat dinikmati hingga detik ini. Sebut saja rangkaian acara sekaten yang digelar setiap tahun sekali dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Jika dahulu perayaan sekaten tidak didahului dengan digelarnya pasar malam, kini pasar malam telah dijadikan sebagai pembuka dari serangkaian acara sekaten di Yogyakarta.
Pada masa awal kemunculannya, sekaten digunakan sebagai media dakwah agama, khususnya agama Islam kepada masyarakat. Cara yang sederhana dan unik. Sunan Bonang yang menyebarkan agama melalui budaya, di mana pada saat itu masyarakat menyukai kesenian terutama gamelan. Sunan Bonang memperingati kelahiran Nabi atau biasa disebut dengan maulud dengan membunyikan gamelan agar masyarakat tertarik. Dari bunyi gamelan tersebut, masyarakat berkumpul dan diantara sesi pembunyian gamelan itu di masukanlah pengetahuan-pengetahuan agama,” tutur Sambodo, Bagian Program dan Informasi Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).


Hal senada juga diungkapkan Purwo Madyono, wanita warga asli Yogyakarta yang berusia hampir satu abad ini. “Dulu setiap peringatan sekaten ada semacam pengajian yang di gelar di Masjid Agung Kauman, isi pengajiannya tentang perjalanan baginda Nabi Muhammad SAW dan pengetahuan Keislaman. Nah, gamelan itu diadakan supaya masyarakat tertarik, sehingga berbondong-bondong menyaksikan. Apalagi jaman dulu, yang namanya hiburan itu masih sedikit, tidak seperti sekarang,” cerita Purwo.

Ketika gamelan di tabuh di situ munculah orang-orang yang tertarik untuk datang sehingga menimbulkan keramaian. Melihat antusiasme masyarakat, beberapa orang pun memanfaatkan momentum tersebut untuk mengais rejeki. Nasi gurih, telur merah dan sirih yang biasa dijajakan para pedagang kala itu. Namun suasana yang begitu ramai serta tempat yang terbatas membuat para pedagang menjadi tak teratur, sehingga munculan aturan dalam pelaksanaannya. Pusat kegiatan perdagangan itu di lakukan di sekitar Alun-Alun Utara Kompleks Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Namun seiring dengan perkembangan zaman, kegiatan perdagangan yang dulu dilakukan berkembang menjadi pasar malam sekaten yang kini telah menjadi trademark dari perayaan sekaten itu sendiri.

Komersialisasi
Pelaksanaan sekaten saat ini tentu sudah sangat berbeda jauh dengan perayaan sekaten pada masanya. Nilai religi yang terkandung di dalamnya seakan terkikis oleh dahsyatnya roda ekonomi yang kian berputar. Ironisnya banyak masyarakat yang justru tidak mengetahui makna dari perayaan sekaten itu sendiri. Banyak dari mereka yang hanya mengetahui sekaten karena pasar malamnya saja. Tidak jarang isu mengenai komersialisasi budaya lekat pada acara ini.
“Sekarang sekaten sudah murni sebagai event bisnis untuk kepentingan banyak pihak, bukan lagi sebuah acara sakral yang mempunyai nilai religi. Dahulu para wali juga menggunakan media hiburan, namun berisi nilai dan nafas religi. Dengan gending Jawa dan gamelannya. Namun sekarang hanya pasar malam yang tidak lebih hanya menjadikan masyarakat semakin konsumtif,” ungkap Dimas Syibli Muhammad Haikal, Mahasiswa Sastra Asia Barat, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Hal tersebut disepakati oleh Sambodo saat mengomentari pelaksanaan sekaten masa kini. “Karena kredo orang sekarang cenderung ke material, sehingga esensi yang sebenarnya tidak di dapat. Seperti halnya fungsi dari handphone yang sebenarnya adalah untuk telepon dan sms namun yang sekarang dicari masyarakat adalah modelnya. Dan masyarakat sekarang cenderung seperti itu,” imbuh Sambodo.

Lanjut Sambodo, bahwa misi sekaten saat ini masih seperti dahulu yaitu untuk penyebaran agama Islam. Yang sangat disayangkan adalah bahwa perayaan sekaten sekarang telah kalah dengan kegiatan ekonomi yang menjadi rangkaian acara sekaten tersebut.
Melihat perkembangan sekaten hingga saat ini, menjadi wajar jika banyak pihak yang ingin turut meramaikan sekaten dan serangkaian acara yang melingkupinya. Termasuk juga didalamnya perputaran uang selama perayaan berlangsung.
Dibalik itu semua, perayaan sekaten yang kini menjadi satu rangkaian dengan pasar malam selama satu bulan penuh tersebut juga sangat membantu perekonomian masyarakat. Semua hadir membawa nilai positif maupun negatifnya. Keberadaan pasar malam dalam rangkaian perayaan sekaten ini telah membuka jalan bagi siapa saja yang ingin mengais rejeki. Sebut saja para petugas parkir di area pasar malam tersebut. Petugas parkir tersebut adalah masyarakat sekitar alun-alun yang mencoba memanfaatkan momentum yang ada.
Tsabit Nur Fadli, warga Kauman, yang setiap tahunnya turut membantu menjaga dan mengamankan kendaraan pengunjung mengaku banyak mendapat manfaat dari adanya pasar malam dan sekaten tersebut.  “Manfaat yang saya dapat ya bisa memberi pemasukan tambahan. Selain itu kami para petugas parkir yang mayoritas adalah warga sekitar alun-alun juga membantu dalam pengisian kas untuk pembangunan kampung,” kata Tsabit.
Manfaat-manfaat seperti itu tentu tidak hanya dirasakan oleh petugas parkir saja. Pasar malam yang justru lebih dikenal dari pada sekaten itu sendiri kini dimanfaatkan oleh instansi pemerintahan maupun masyarakat untuk memamerkan dan memberikan informasi terkait hasil kerajinan lokal masyarakat dan berbagai informasi penting lainnya. Perayaan pasar malam yang menjadi rangkaian acara sekaten bisa jadi justru menjadi faktor pendorong pertama masyarakat ingin tahu lebih jauh tentang sekaten yang sudah ada turun-temurun sejak zaman dahulu.

Perubahan kebudayaan atau pengikisan nilai-nilai kebudayaan tidak lagi dapat dipungkiri seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Keberadaan budaya tentu menjadi tanggung jawab kita bersama untuk melestarikannya. Budaya lokal yang semakin ditinggalkan karena adanya gempuran budaya perlu dikemas semenarik mungkin. Bagaimana mengemas dan menampilkan semenarik mungkin ke masyarakat tentu dengan berbagai penyesuaian perubahan zaman masih dirasa wajar dengan catatan tidak menghilangkan esensi, makna dan nilai dari budaya itu sendiri.  Tim UIN Sunan Kalijaga

nah, semoga kita sebagai generasi muda tidak melupakan sejarah sekaten ini, jangan menghabiskan waktu hanya untuk bermain-main. Boleh lah sesekali main di pasar malamnya, tapi jangan lupakan esensi dari tradisi sekaten itu sendiri. Kalau bukan kita generasi muda yang melestarikan, lantas siapa lagi?

sumber: joglosemar.co/2014/01/sekaten-antara-tradisi-dan-komersialisasi.html
meskipun sumbernya sudah setahun yang lalu, tapi masih sangat cocok untuk di munculkan lagi pada saat ini mengingat animo para muda-mudi yang sangat tinggi terhadap tradisi tersebut.
Rabu, 02 Desember 2015 0 komentar

Dari Kader yang Baper menjadi Kader Baper



Dewasa ini sepertinya kita mengalami fenomena yang ngga bisa dipungkiri sangat viral di kalangan anak muda. Dimana-mana kata ini selalu di ucapkan. Bahkan, orang yang ingin meminta maaf apabila punya salah pun akan dilabeli dengan kata ini. Yap, Baper. Ntah siapa yang pertama kali mempopulerkan kata ajaib ini dalam waktu singkat sudah menjadi kata sisipan bagi obrolan anak muda. Sebenernya Baper itu apa? Kenapa sampai begitu penting pembahasan ini? Sebenernya saya juga malas membahas ini. Tapi karena sudah gregetan melihat fenomena yang makin menjadi-jadi ini akhirnya dibuatlah tulisan ini. Yak jadi Baper adalah bawa perasaan. Jadi kalau kalian-kalian semua pernah dibilang gitu sama temen kalian, kita sama. Contoh: ‘maaf yaa aku tadi ngga bisa dateng sampe selesai’ ‘iya nggapapa’ ‘maaf yaa sekali lagi’ ‘udah nggapapa, kok jadi baper gitu sih’. Intinya menjadi seseorang yang cenderung baper itu tidak baik, sering di bully lah, ini lah, itu lah. Benarkah?

Nah, saya yakin dari contoh-contoh diatas pasti kalian ada yang pernah ngerasain. Dan sayangnya virus ini pun menyebar kepada mereka para aktivis kampus. Terutama aktivis dakwah yang sebagaimana orang-orang tahu bahwa yang namanya aktivis dakwah pasti komunikasinya harus nunduk, ngga boleh saling pandang, dan sedikit banget yang di obrolin. Tapi mengapa mereka-mereka ini bisa tergolong ke dalam manusia baper? Ya karena apa yang di omongkan orang lain kepada mereka, mereka input langsung ke hati. Jadi, seperti ada perasaan ‘uh’ yang tak bisa dijelaskan. Sebenarnya hal itu baik, karena akan menjadi refleksi untuk mereka dalam melakukan hal yang akan mereka lakukan berikutnya. Namun, karena terus-terusan dibahas atau diceritakan kepada teman-temannya maka muncullah perasaan baper yang tak tertahankan. Apalagi kalau bahasannya menyangkut masalah jodoh, nikah, dan turunannya. Pastilah akan menjadi virus yang sangat merugikan para aktivis dakwah karena akan mengalihkan fokus mereka untuk tetap menyampaikan kebaikan. Harusnya kita belajar ini dan itu, karena kita terkena baper yang berlebihan, tidak jadi belajar.

Nah, solusi apa yang bisa di lakukan buat para aktivis agar terhindar dari baper? Yaa dengan menjadi kader yang baper. Lah, kok baper lagi? Iya, baper yang ini beda. Baper yang ini diartikan Barisan Pengikut Rasulullah. Keren kan kepanjangannya? Kader-kader ini sebaiknya kembali mengikuti ajaran yang telah di contohkan Rasul, kembali ke segala sunnah nya, jadilah pribadi yang tetap berjalan di jalannya. Pokoknya sibukkkan diri kita dengan banyak hal agar pikiran kita teralihkan dari keinginan yang tidak baik. Sudah ada role modelnya tuh, nabi Muhammad sebagai panutan yang paling baik yang bisa dicontoh. Tinggal bagaimana kita mengaplikasikan segala perilaku Rasul baik itu dalam berpikir, bersikap, berorganisasi, bergaul, yang insyaAllah apabila kita bisa minimal mengikuti salah satunya maka kita akan merasakan sedikit ada yang berubah dengan diri kita. Meskipun saya juga baru memulai, tapi setidaknya kita berjuang bersama-sama. Yakin deh, baper yang ini baik untuk jiwa dan raga.

Bukankah manusia pasti punya perasaan, bukankah itu yang membedakan kita dengan hewan? Sejatinya baper itu fitrah, tapi kalau salah arah akan membuat masalah. Jadi, baper itu tidak masalah selama kita bisa menempatkan sesuai porsinya. Bahkan, baper akan membuat kita lebih peka terhadap orang lain dan bagaimana harus bersikap. Baper bisa membuat kita lebih bersyukur, pun juga bisa mendekatkan kita pada Sang Pencipta. Maka, baperlah pada tempatnya karena jika kita baper sembarangan dampaknya juga buruk. Orang yang baper biasanya mudah tersinggung, mudah galau, mudah percaya, gampang buat di rayu, mudah berprasangka, supaya kita bisa baper pada tempatnya maka gunakanlah juga akal. Akal, perasaan, hati kudu sejalan dong. Jangan hanya bawa perasaan saja tapi akalnya juga harus digunakan. Jangan hanya akal saja tapi perasaannya juga harus dibawa. Jadi harus seimbang sesuai dengan kata hati. Bukankah Allah sudah berfirman dalam firman-Nya: Katakanlah: “Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati”. (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur. (Q.S. Al-Mulk: 23)


Nah, masih mau jadi kader yang baper?
Sabtu, 05 September 2015 0 komentar

Semester Baru


Hari baru, suasana baru. Ya, itulah yang aku rasakan dan juga mungkin semua teman-temanku. Semester baru merupakan cerita yang sangat dinanti-nanti bagi para mahasiswa, ntah yang baru saja mendapat titel sebagai mahasiswa maupun yang baru menjadi kakak tingkat ataupun bagi para mahasiswa semester atas yang mulai bosan dengan studinya yang tidak rampung-rampung. Yah, doakan saja semoga mereka yang sudah ‘sepuh’ ini segera mendapat gelar yang mereka inginkan.


Biasanya ketika semester baru ada satu ritual yang wajib dan sangat tidak boleh dilewatkan. Yaitu Orientasi Pengenalan Kampus atau OSPEK. Banyak mahasiswa yang rela tidak bersua dengan orang tua tercinta di rumah hanya karena kegiatan tiap tahunan ini. Mereka rela mengorbankan segala pikiran perasaan mereka untuk menyukseskan acara kampus tersebut. Selain memberikan kesan yang mendalam bagi para mahasiswa baru hal itu juga akan menambah ilmu berorganisasi mereka yang nantinya dapat digunakan ketika berkecimpung di masyarakat nanti. Bagaimana denganku? Aku sempat mendaftar, dan diterima. Tapi ketika ingin kembali ke perantauan untuk mengurusi hajatan kampus tersebut, aku dilarang orang tuaku. Alhasil  aku memundurkan jadwal keberangkatanku hingga minggu depannya. Tak apalah, masih diberi waktu buat refresh pikiran dan nyantai-nyantai di rumah.

Ospek di kampusku terasa berbeda dengan kampus-kampus lainnya. Ya mungkin karena nama mereka lebih tenar dan besar ketimbang kampusku yang berlabel agama sehingga penyajian kegiatannya pun berbeda. Namun bukan itu, ada satu hal yang membuatku muak dengan sistem ospek di kampusku. Meskipun itu bagus dan berguna, namun hanya berguna di saat yang sangat genting saja. Ya, ospek di kampusku sangat di tularkan virus orasi. ‘Iyalah biar patriotik, nasionalis, kritis terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyat, presiden pertama kita aja orator ulung loh!’. Aku sama sekali tidak menyalahkan itu, tapi apa ya harus dengan demo turun ke jalan merusak fasilitas publik, mengganggu jalanan umum. Ah, tidak bisakah demonstrasi dengan cara yang lebih sopan? Pasti ada. Hanya saja mereka sudah terlanjur betah dengan yang itu-itu saja. Ospek yang katanya bebas dari pengaruh golongan tertentu malah justru identik dengan bau-bau pergerakan. Mengajarkan demo, menyuruh orasi, bentak-bentak, dan yang paling miris, merokok dan gondrong. Jangan ada debat tentang rokok diantara kita. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menyadarkan orang perokok kalau mereka salah. Seharusnya yang dilihat para mahasiswa baru adalah kakak tingkat yang rapi, ramah, dapat menjadi teladan yang baik sehingga kesan bagi mahasiswa baru pun ikut baik. Para panitia ospek itu pun pada akhir osspek mengadakan kegiatan yang gunanya mengakrabkan mahasiswa-mahasiswa namun dengan biaya yang tidak sedikit. Padahal, pihak kampus sudah melayangkan pernyataan bahwa ospek itu bebas biaya. Namun tetap saja ada yang memanfaatkan momen ini untuk mengumpulkan pundi-pundi untuk kepentingan mereka sendiri. Dengan penyajian kakak tingkat yang sukanya ngomong keras, bentak, nggak ada senyum-senyumnya sama sekali, ah jangan ngarep deh buat mahasiswa baru tertarik. Ospek kali ini terasa sama, stagnan. Sayang sekali yang justru kebalikan dengan kampus UGM dan UNY, terlihat mereka kompak, rapi, dan mereka tertawa dan senang menjalani masa ospek mereka. Sehingga niat mereka untuk berkuliah semakin mantap. Ah sepertinya perlu belajar banyak dari mereka tentang bagaimana caranya membuat para mahasiswa baru tersenyum senang bukannya merengut dan nggrutu sana sini. Tapi meskipun masih banyak kurang disana sini, tetep dong harus bangga sama kampus ku, gini gini juga aku bakalan keluar dari kampus ini juga dengan titel sebagai pengajar. InsyaAllah.
 

Suasana baru ini pun akan semakin indah dengan segera dimulainya perkuliahan atau malah yang sudah memulai perkuliahan sejak minggu lalu, yang pasti masa kuliah itu sudah masa-masa serius. Serius belajar, serius berorganisasi, serius memperbaiki diri, serius mengasah kemampuan diri, serius mencari istri, eh tidak serius untuk terus tegak sendiri dan membuktikan kalau segala hal yang kamu minta dari orang tuamu bisa kamu balas dengan keseriusanmu dalam menempuh studi lanjut. Syukur-syukur dapet beasiswa sehingga tidak bikin susah orang tua lagi. So tetap fokus, rendah hati, dan tetap berjuang di jalan yang benar. Ngomong-ngomong saat ini aku semester 3. Yupyup.
Jumat, 04 September 2015 0 komentar

Sepotong Episode Masa Lalu

06 Maret ’15. Hujan. Inilah cuaca terakhir sebelum keberangkatanku ke Bandung. Nggak terlalu deras sih, tapi cukup bikin nuansa nostalgia masa lalu terngiang-ngiang di kepala. Aku berjalan terburu-buru ke titik pertemuan karena aku agak terlambat. Untung saja sebelumnya mampir di kosan temen yang lumayan deket kampus. Jadi, nggak terlambat banget. Aku bersama para teman dan kakatingkatku berencana ke Bandung untuk sekedar studi banding. Studinya dikit, banding-bandinginnya banyak. Nggak seperti itu lah. Pastinya cari ilmu baru buat diterapin di LDK tempatku bernaung ini. kami berangkat sore hari. Jam 5 lebih, agak ngaret dikit dari waktu kesepakatan. Biasa. Untungnya nggak terlalu lama banget nunggunya. Keburu galau. Siapa yang nggak galau kalo kita nunggu orang di dalem bis sambil ngeliatin jendela yang lagi kena hujan?
Singkat cerita nih kita udah di jalan. Sambil ngedengerin musik yang disetel sama om supir. Bukan musik sih sebenernya tapi murottal. Semenjak berangkat tadi murottal always been listened by us. Soalnya yang request para ibu-ibu dibelakang. Kita sebagai bapak-bapak nggak bisa berbuat banyak selain menuruti permintaan mereka. Uh. Buat kalian-kalian yang mungkin kebetulan terdampar kesini terus baca ini percaya deh, kalo imanmu belum tebel banget kamu nggak bakal betah denger murottal. Yang ada berasa di ruqyah massal di bis. Kalo yang udah biasa mah ya enak aja dengernya. Adem. Tapi untung aja nggak terus-terusan disetelnya karena ketua LDK kami berinisiatif(kayaknya sih) untuk memutar film. Menurutku sih bagus, judulnya Gie. Iya Soe Hok Gie itu sang nasionalis yang terkenal karena jalur kiri itu. Awalnya aku antusias nontonnya tapi....tiba-tiba filmnya-diganti-sama-film-pendek-motivasi-dan-karena-bosen-nggak-ada-film-lagi-akhirnya-balik-lagi-nonton-film-itu-lagi-dan-itu-berulang-sampe-empat-kali yang ngebikin aku suntuk. Untuk pemutaran kelima aku sampe hafal gimana setting ceritanya, menit segini mulai gini, menit segitu mulai gitu. Tidur.

Kita istirahat di rumah makan dikawasan Rancaekek, Bandung luar gitu berdasar yang aku liat di peta hapeku. Aku dan teman-temanku MCK disini, mumpung waktu istirahat bisnya lumayan lama dan pengunjung rumah makan disini juga nggak terlalu ramai. Disini aku nyempetin beli kaos kaki, soalnya dingin benget kaki kalo lagi di bis. Dan habis beli aku langsung pening. Kaos kakinya mahal banget. Uh, ini kok malah curhat didalam curhat? Oke lanjutin lagi dengan pikiran yang nggak fokus karena kaos kaki ini bis kita mulai melanjutkan perjalanan menuju tempat pemberhentian pertama kita. ITB. Meskipun sempet semilir-semilir karena ngantuk, tapi nggak nyurutin semangat buat ngeliat kota Bandung. Sebelum itu, kita mampir dulu ke Masjid Raya Bandung. Masjid ini bagus, didepan terasnya ada semacam lapangan rumput seukuran tiga per empat lapangan bola. Tapi bukan rumput beneran, sintetis. Kalo beneran yang ngumpul disini bukan manusia, tapi sapi-sapi yang kayaknya mau menyerahkan diri ke panitia kurban.

Disini kita nyempetin diri buat foto-foto. Mulai dari foto resmi, nggak resmi, alay, alay banget, selfie dkk. Setelah kita pening berfoto. Kita masuk ke masjid buat sholat dhuha. Didalem masjid ternyata rame, karena kebetulan ada rombongan umroh yang lagi di briefing sama pemandunya. Yang bisa ketangkep sama kupingku cuma “...........naon?” “.....atuh....” “kaping.....” “........................”. Nihil. Otak belum mampu menerjemahkan informasi-informasi asing yang masuk ke telinga. Setelah aku sholat beberapa rakaat aku balik lagi ke bis untuk melanjutkan perjalanan kita. Iya kita.
Aku udah sampe di ITB, Masjid Salman ITB. Masjid ini nggak terlalu besar, tapi aku kagum. Disini semuanya rapi. Suasananya hangat banget. Diskusi dimana-mana. Ah, wajar kampus terkenal kok. Bahkan ada tempat tersendiri buat kegiatan mahasiswa mengembangkan potensi. Aku sempet batin dalam hati, kenapa ditempatku nggak ada? Ah, mungkin lain kali bisa terwujud. Lalu kita bertemu dengan saudara sederita seikatan disini. Mereka menamakan lembaga mereka dengan GAMAIS. Keluarga Mahasiswa ITB. Dari berbagai patah kata yang aku dengar, aku bisa nangkep satu hal kalo GAMAIS ini udah lumayan lama, 1986 berdirinya. Uh kalah jauh sama LDK kami yang baru 4 tahun, kalah semua deh. Karena itulah kami disini minta wejangan, berbagi cerita juga tentang kendala-kendala serta hambatan dalam berdakwah tentunya. Obrolan kami hangat, tapi aku lebih banyak diam karena aku memang suka diam. Karena udah ada yang ngewakilin ngomong yang pas sih. Setelah mas Azzam(kakatingkat) selesai diskusi dan aku masih sibuk ngemilin jajanan yang disediakan, kami berkumpul lagi menjadi 1 untuk penutupan pertemuan. Biasa, ada ketemu, ada pisah.  Namun sebelum pisah kami dari LDK Jogja memberikan sedikit kenang-kenangan kepada GAMAIS ITB berupa plakat dan bakpia.


Rencana kami selanjutnya adalah UIN Sunan Gunung Djati, lumayan jauh tempatnya dari yang aku liat di peta hape. Dan benar saja, kami masih bisa tidur nyenyak sebentar sebelum sampe ke tempat tujuan. Dan ketika di bis, aku cuma liat ke arah jendela bis. Ramenya Bandung ini sama mungkin kayak ramenya Jogja kalo siang-siang. Perjalanan yang harusnya bisa 1 jam kurang ternyata memakan waktu hampir satu setengah jam.



Sampe juga di UIN SGD. Bukan Singapore Dollar tapi Sunan Gunung Djati. Kesan pertama waktu sampe sini, keren. Aku pernah ngeliat profil-profil UIN diantaranya UIN Malang sama Jakarta. Keren. Gedungnya tingkat lima. Di Jakarta malah kayak hotel. Di kampusku mau lantai lima ntar malah ditabrak sama pesawat. Soalnya deket banget sama rute penerbangan pesawat. Disini kita langsung disambut secara dadakan oleh para saudara seiman dan senasib kami. Mereka menamakan LDK mereka dengan LDM. Cuma beda di huruf terakhir. Kalo kita kampus mereka mahasiswa. Disini kegiatan kita nggak jauh beda sama yang di ITB tadi. Diskusi, curhat, ngemil. Dan aku fokus di ngemilnya. Jangan buruk sangka kalo peran aku disini cuma makan aja, padahal iya. Tapi yang aku bisa tangkep dari obrolan ringan yang singkat, padat, berkualitas ini bahwa kita dihadapkan pada masalah yang sama. Yaitu orang-orang yang udah overdosis sama ilmu agama. Jadi mereka pikir buat apa aku ikut begituan? Aku kan udah tau ilmunya. Itu masih mending berati mereka memang paham apa yang musti dilakuin. Lah, sebaliknya ada juga kelompok yang kurang gizi ilmu agama, nanti mereka beralasan bahwa ‘ah aku belum siap’ ‘ah buat apa sih ikut gituan, ngaji mulu dah’ ‘ah pesti nggak ada konsumsi’. Dan yang paling bikin pening itu kalo ada yang bilang ‘ah, nanti kalo ikut gituan aku harus mupuk dagu biar jenggotan dong?’ ‘aku nanti harus make kerudung segiempat gede banget, aku kan belum siap’. Uh, yang namanya jenggotan, berkerudung syar’i itu bukan paksaan kite, tergantung masing-masing individunya lah itu. Kenapa mikirnya terlalu begitu? Tensi tinggi nih. Oke kita nyantai aja, agak miris tapi ya harus jadi bahan pertimbangan dan pemikiran buat kedepannya. Gimana caranya mereka itu bisa nyaman buat gabung sama kita. Susah.

Setelah kita puas diskusi, kita diajak makan sama mereka. Uh, tadi udah ngemil banyak masih disuruh makan. Ayuk. Kami lalu berkumpul didepan ruang sekretariat mereka dan mereka sudah menyiapkan apa saja yang diperlukan.
Bisa diliat kan, kalo makannya udah kayak gini, pasti seru. Sambil makan sambil cerita juga, nggak tau tuh yang ibu-ibu kalo makan kayaknya anteng banget atau bahkan lebih rame dari bapak-bapaknya. Tapi namanya juga laki, makannya nggak ada yang napas. Dikala ibu-ibu masih ditengah-tengah makan, kite udah siap-siap buat balik. Rampung. Kenyang. Terimakasih untuk teman-teman LDM Sunan Gunung Djati sudah memberi wejangan yang bener-bener wejangan. InsyaAllah kita akan dipertemukan kembali dilain kesempatan. Waktunya kita ke UPI. Tapi, tiba-tiba sang sopir bis memberikan suatu keputusan yang membuat kami garuk kepala. Kita bisa ke UPI asal batalin yang ke Cihampelas. Atau kita nggak pergi ke UPI dan kita pergi ke Cibaduyut. Duh, gimana ini padahal sudah teken kontrak sama mereka. Janji. Tapi apalah daya daripada kita harus nambah biaya bis yang nggak sedikit. FYI jarak dari UIN ke UPI lumayan jauh. Ditambah dengan kondisi jalan Bandung yang selalu rame dan padet. Ngelewatin terminal bis juga. Nggak bakal kesampean buat ke UPI. Maybe next time. Kita jadinya ke Cibaduyut karena mau ke Cihampelas juga jauh. Cibaduyut searah sama arah kita pulang nanti. Jadinya bisa mengefesiensikan waktu.

Sampe di Cibaduyut apa yang dicari? Sepatu kulit? Tas? Nggak mungkin. Jalan-jalan kesini aja udah bikin muflis, apalagi belanja gituan yang ada malah nggak bisa pulang. Aku beli peuyeum. Bukan peyempuan loh, tapi peuyeum. Semacem singkong yang di kasih bahan buat mempercepat pembusukan gitu. Ntar jadinya kayak tape gitu deh. Meskipun agak gimana gitu, tapi makanan ini cukup tenar kalo lagi plesiran kesini. Dan juga aku sempet beli kaos panjang. Sebagaimana pria sejati pada umumnya satu kelemahan yang tak terelakkan. Nggak bisa nawar. Kalah mental sama yang jual. Mungkin disini lah kekuatan alami wanita yang memperoleh gelar doktor dibidang komunikasi. Kalo udah perempuan yang nawar. Dengan teknik dan sedikit gerak-gerik sana sini bisa buat penjual merelakan dagangannya diakuisisi oleh pembeli wanita. Miris. Malu jadi laki. Setelah bangkrut belanja, kita mulai perjalanan buat kembali ke Jogjakarta. Ah, waktunya pulang.
Sepanjang perjalanan aku kebanyakan tidur, ketiduran, ditidurin, apalah itu yang ngebuat mataku terpejam. Seru banget bisa berkunjung ke kota ini. Dan beruntung aku bisa denger keluhan yang sama dari temen-temen yang ada diluar kampusku. Ternyata halangan kita sama, cuma kami belum terlalu siap untuk melewati itu karena kami masihlah terlalu muda. Tidaklah salah jika muda harus mulai berkarya. Tapi, pengalaman jauh diatas segalanya. Pahit manis kita kurang. Terimakasih untuk satu harinya. Kita akan bertemu. Kalau tidak disini, semoga di kehidupan yang lain nanti. Sebagai saudara yang hangat dalam cinta, indahnya persahabatan. Dan kamu, iya kamu yang mungkin sedang sibuk dengan urusanmu. Aku mungkin hanya sanggup, ah aku nggak sanggup. Mungkin aku harus melakukan sedikit settingan terhadap diriku agar aku mampu. Dan ketika aku mulai mampu, ada sesuatu yang sangat menggangguku. Aku terbangun dari tidur perjalananku.

March, 6th-8th 2015, from Bandung with Love.

sedikit lampiran...





Jumat, 20 Februari 2015 0 komentar

Penat ku..

Hari ini aku capek. Seminggu kurang kuliah berangkat pagi pulang sore-sore itu jadi berasa anak sekolahan lagi. Padahal jadwalnya nggak padet-padet banget, tapi setiap balik ke kosan ntah kenapa suram banget. Apa aku yang mulai males kuliah? Apa emang cuma gini-gini aja rasanya kuliah? Atau aku udah kena mabok darat gara-gara setiap berangkat kuliah pasti ngisep asep knalpot mobil yang sliweran sana-sini. FYI aku berangkat ke kampus suka jalan kaki, jarak kosan ke kampus seperempat jam dan itu lewat jalan yang banyak dilewatin mobil-mobil berangkat kerja ataupun motor-motor mahasiswa yang berangkat kuliah. Termasuk motor-motor anak-anak SMP labil yang kalo lewat suka nggeber motornya ntah kenapa biar disangka keren gitu? Nggak banget. Tapi aku singkirin semua pikiran aneh bin jelek itu jauh-jauh mengingat aku udah janji sama diri sendiri. "Kamu udah buat orang tuamu nurutin kamu, sekarang jangan sia-siain kesempatan itu".

yaaak itu lah yang aku pikirin sekarang, jujur butuh refreshing lagi. Sebenernya ada jadwal tapi itu masih bulan depan. dan dengan kondisi cadangan devisa negara yang semakin berhutang sama mbah-mbah angkringan, aku dilema. ngabisin waktu di perpustakaan jadi opsi terbaik buat ngilangin suntuk di kosan, itu juga karena ada deadline makalah hari senin besok dan aku pusing gimana mulainya. oke sampe perpus boleh lah nyari-nyari buku, makin kesini makin kesini bukunya ngganggur deh nggak dipake, waktunya malah aku pake buat corat-coret disini, tapi nggak papa deh, udah lama juga nggak nge-blog.

kadang enak juga sendirian, aku emang orangnya gitu, bingung kalo lagi rame, cair kalo lagi sama temen deket, dan kesepian kalo sama temen biasa. menurutku sih itu salah, karena menutup diri itu nanti hasilnya jelek. Kita nggak bisa terbuka, jadi orang-orang juga penasaran kita ini gimana. Kan nggakmau kita di judge yang aneh-aneh. So far, aku masih enjoy aje sendiri. Sori ini bukannya aku jones atau apa, ini cuma masalah keadaan dan situasi ku aja. Jangan di bully, damai. Yah, meskipun kadang suka kengen sama temen-temen yang udah pada kemana-mana, katanya ngajak ketemuan eh malah batal gara-gara sakit mag. Duh nggak pas banget kan? kadang juga kangen orang rumah yang kalo sampe rumah pasti diomelin. "Kok pulang nggak bilang-bilang sihh??'' "kalo mau pulang itu bilang dulu dong". baru 2 kali pulang ke kampung udah kena omel 2 kali juga, yaa itu sih salah ku juga karena pulang nggak bilang-bilang, jadi aku pengen tau respon orang rumah gimana dan ternyata mereka bukannya seneng tapi malah shock. Tapi emang itu yang aku cari. Omelan. Ya sebagai anak kos yang kurang kasih sayang kalo kita di omelin sama orang tua lewat telpon itu biasa, nggak ngena sensasinya. Tapi kalo udah dirumah, kangen banget rasanya di omelin. Meskupin kadang suka debat nggak jelas yang bikin aku sedikit emosi. Tapi aku paham kenapa mereka seperti itu. Orang tua ku memikirkan yang terbaik buat aku, jadi meskipun aku suka jawab nasehatnya, dan aku suka nangis gara-gara itu, ujung-ujungnya aku paham kalo itu semua bakalan balik ke aku. Dan apa yang harus aku lakuin? Ngebales budinya dong dengan nggak maen-maen waktu kuliah dan bisa lulus tepat waktu. Kalo bisa udah mulai ngasih sedikit penghasilan deh kalo udah mulai nyari selingan kerja. Amiin.
 
;