Kamis, 10 Desember 2015 0 komentar

Sekaten, Dulu dan Kini

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Kota Yogyakarta merupakan kota yang begitu kaya akan tradisi dan budayanya. Beberapa tradisi warisan leluhur pun bahkan masih dapat dinikmati hingga detik ini. Sebut saja rangkaian acara sekaten yang digelar setiap tahun sekali dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Jika dahulu perayaan sekaten tidak didahului dengan digelarnya pasar malam, kini pasar malam telah dijadikan sebagai pembuka dari serangkaian acara sekaten di Yogyakarta.
Pada masa awal kemunculannya, sekaten digunakan sebagai media dakwah agama, khususnya agama Islam kepada masyarakat. Cara yang sederhana dan unik. Sunan Bonang yang menyebarkan agama melalui budaya, di mana pada saat itu masyarakat menyukai kesenian terutama gamelan. Sunan Bonang memperingati kelahiran Nabi atau biasa disebut dengan maulud dengan membunyikan gamelan agar masyarakat tertarik. Dari bunyi gamelan tersebut, masyarakat berkumpul dan diantara sesi pembunyian gamelan itu di masukanlah pengetahuan-pengetahuan agama,” tutur Sambodo, Bagian Program dan Informasi Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).


Hal senada juga diungkapkan Purwo Madyono, wanita warga asli Yogyakarta yang berusia hampir satu abad ini. “Dulu setiap peringatan sekaten ada semacam pengajian yang di gelar di Masjid Agung Kauman, isi pengajiannya tentang perjalanan baginda Nabi Muhammad SAW dan pengetahuan Keislaman. Nah, gamelan itu diadakan supaya masyarakat tertarik, sehingga berbondong-bondong menyaksikan. Apalagi jaman dulu, yang namanya hiburan itu masih sedikit, tidak seperti sekarang,” cerita Purwo.

Ketika gamelan di tabuh di situ munculah orang-orang yang tertarik untuk datang sehingga menimbulkan keramaian. Melihat antusiasme masyarakat, beberapa orang pun memanfaatkan momentum tersebut untuk mengais rejeki. Nasi gurih, telur merah dan sirih yang biasa dijajakan para pedagang kala itu. Namun suasana yang begitu ramai serta tempat yang terbatas membuat para pedagang menjadi tak teratur, sehingga munculan aturan dalam pelaksanaannya. Pusat kegiatan perdagangan itu di lakukan di sekitar Alun-Alun Utara Kompleks Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Namun seiring dengan perkembangan zaman, kegiatan perdagangan yang dulu dilakukan berkembang menjadi pasar malam sekaten yang kini telah menjadi trademark dari perayaan sekaten itu sendiri.

Komersialisasi
Pelaksanaan sekaten saat ini tentu sudah sangat berbeda jauh dengan perayaan sekaten pada masanya. Nilai religi yang terkandung di dalamnya seakan terkikis oleh dahsyatnya roda ekonomi yang kian berputar. Ironisnya banyak masyarakat yang justru tidak mengetahui makna dari perayaan sekaten itu sendiri. Banyak dari mereka yang hanya mengetahui sekaten karena pasar malamnya saja. Tidak jarang isu mengenai komersialisasi budaya lekat pada acara ini.
“Sekarang sekaten sudah murni sebagai event bisnis untuk kepentingan banyak pihak, bukan lagi sebuah acara sakral yang mempunyai nilai religi. Dahulu para wali juga menggunakan media hiburan, namun berisi nilai dan nafas religi. Dengan gending Jawa dan gamelannya. Namun sekarang hanya pasar malam yang tidak lebih hanya menjadikan masyarakat semakin konsumtif,” ungkap Dimas Syibli Muhammad Haikal, Mahasiswa Sastra Asia Barat, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Hal tersebut disepakati oleh Sambodo saat mengomentari pelaksanaan sekaten masa kini. “Karena kredo orang sekarang cenderung ke material, sehingga esensi yang sebenarnya tidak di dapat. Seperti halnya fungsi dari handphone yang sebenarnya adalah untuk telepon dan sms namun yang sekarang dicari masyarakat adalah modelnya. Dan masyarakat sekarang cenderung seperti itu,” imbuh Sambodo.

Lanjut Sambodo, bahwa misi sekaten saat ini masih seperti dahulu yaitu untuk penyebaran agama Islam. Yang sangat disayangkan adalah bahwa perayaan sekaten sekarang telah kalah dengan kegiatan ekonomi yang menjadi rangkaian acara sekaten tersebut.
Melihat perkembangan sekaten hingga saat ini, menjadi wajar jika banyak pihak yang ingin turut meramaikan sekaten dan serangkaian acara yang melingkupinya. Termasuk juga didalamnya perputaran uang selama perayaan berlangsung.
Dibalik itu semua, perayaan sekaten yang kini menjadi satu rangkaian dengan pasar malam selama satu bulan penuh tersebut juga sangat membantu perekonomian masyarakat. Semua hadir membawa nilai positif maupun negatifnya. Keberadaan pasar malam dalam rangkaian perayaan sekaten ini telah membuka jalan bagi siapa saja yang ingin mengais rejeki. Sebut saja para petugas parkir di area pasar malam tersebut. Petugas parkir tersebut adalah masyarakat sekitar alun-alun yang mencoba memanfaatkan momentum yang ada.
Tsabit Nur Fadli, warga Kauman, yang setiap tahunnya turut membantu menjaga dan mengamankan kendaraan pengunjung mengaku banyak mendapat manfaat dari adanya pasar malam dan sekaten tersebut.  “Manfaat yang saya dapat ya bisa memberi pemasukan tambahan. Selain itu kami para petugas parkir yang mayoritas adalah warga sekitar alun-alun juga membantu dalam pengisian kas untuk pembangunan kampung,” kata Tsabit.
Manfaat-manfaat seperti itu tentu tidak hanya dirasakan oleh petugas parkir saja. Pasar malam yang justru lebih dikenal dari pada sekaten itu sendiri kini dimanfaatkan oleh instansi pemerintahan maupun masyarakat untuk memamerkan dan memberikan informasi terkait hasil kerajinan lokal masyarakat dan berbagai informasi penting lainnya. Perayaan pasar malam yang menjadi rangkaian acara sekaten bisa jadi justru menjadi faktor pendorong pertama masyarakat ingin tahu lebih jauh tentang sekaten yang sudah ada turun-temurun sejak zaman dahulu.

Perubahan kebudayaan atau pengikisan nilai-nilai kebudayaan tidak lagi dapat dipungkiri seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Keberadaan budaya tentu menjadi tanggung jawab kita bersama untuk melestarikannya. Budaya lokal yang semakin ditinggalkan karena adanya gempuran budaya perlu dikemas semenarik mungkin. Bagaimana mengemas dan menampilkan semenarik mungkin ke masyarakat tentu dengan berbagai penyesuaian perubahan zaman masih dirasa wajar dengan catatan tidak menghilangkan esensi, makna dan nilai dari budaya itu sendiri.  Tim UIN Sunan Kalijaga

nah, semoga kita sebagai generasi muda tidak melupakan sejarah sekaten ini, jangan menghabiskan waktu hanya untuk bermain-main. Boleh lah sesekali main di pasar malamnya, tapi jangan lupakan esensi dari tradisi sekaten itu sendiri. Kalau bukan kita generasi muda yang melestarikan, lantas siapa lagi?

sumber: joglosemar.co/2014/01/sekaten-antara-tradisi-dan-komersialisasi.html
meskipun sumbernya sudah setahun yang lalu, tapi masih sangat cocok untuk di munculkan lagi pada saat ini mengingat animo para muda-mudi yang sangat tinggi terhadap tradisi tersebut.
Rabu, 02 Desember 2015 0 komentar

Dari Kader yang Baper menjadi Kader Baper



Dewasa ini sepertinya kita mengalami fenomena yang ngga bisa dipungkiri sangat viral di kalangan anak muda. Dimana-mana kata ini selalu di ucapkan. Bahkan, orang yang ingin meminta maaf apabila punya salah pun akan dilabeli dengan kata ini. Yap, Baper. Ntah siapa yang pertama kali mempopulerkan kata ajaib ini dalam waktu singkat sudah menjadi kata sisipan bagi obrolan anak muda. Sebenernya Baper itu apa? Kenapa sampai begitu penting pembahasan ini? Sebenernya saya juga malas membahas ini. Tapi karena sudah gregetan melihat fenomena yang makin menjadi-jadi ini akhirnya dibuatlah tulisan ini. Yak jadi Baper adalah bawa perasaan. Jadi kalau kalian-kalian semua pernah dibilang gitu sama temen kalian, kita sama. Contoh: ‘maaf yaa aku tadi ngga bisa dateng sampe selesai’ ‘iya nggapapa’ ‘maaf yaa sekali lagi’ ‘udah nggapapa, kok jadi baper gitu sih’. Intinya menjadi seseorang yang cenderung baper itu tidak baik, sering di bully lah, ini lah, itu lah. Benarkah?

Nah, saya yakin dari contoh-contoh diatas pasti kalian ada yang pernah ngerasain. Dan sayangnya virus ini pun menyebar kepada mereka para aktivis kampus. Terutama aktivis dakwah yang sebagaimana orang-orang tahu bahwa yang namanya aktivis dakwah pasti komunikasinya harus nunduk, ngga boleh saling pandang, dan sedikit banget yang di obrolin. Tapi mengapa mereka-mereka ini bisa tergolong ke dalam manusia baper? Ya karena apa yang di omongkan orang lain kepada mereka, mereka input langsung ke hati. Jadi, seperti ada perasaan ‘uh’ yang tak bisa dijelaskan. Sebenarnya hal itu baik, karena akan menjadi refleksi untuk mereka dalam melakukan hal yang akan mereka lakukan berikutnya. Namun, karena terus-terusan dibahas atau diceritakan kepada teman-temannya maka muncullah perasaan baper yang tak tertahankan. Apalagi kalau bahasannya menyangkut masalah jodoh, nikah, dan turunannya. Pastilah akan menjadi virus yang sangat merugikan para aktivis dakwah karena akan mengalihkan fokus mereka untuk tetap menyampaikan kebaikan. Harusnya kita belajar ini dan itu, karena kita terkena baper yang berlebihan, tidak jadi belajar.

Nah, solusi apa yang bisa di lakukan buat para aktivis agar terhindar dari baper? Yaa dengan menjadi kader yang baper. Lah, kok baper lagi? Iya, baper yang ini beda. Baper yang ini diartikan Barisan Pengikut Rasulullah. Keren kan kepanjangannya? Kader-kader ini sebaiknya kembali mengikuti ajaran yang telah di contohkan Rasul, kembali ke segala sunnah nya, jadilah pribadi yang tetap berjalan di jalannya. Pokoknya sibukkkan diri kita dengan banyak hal agar pikiran kita teralihkan dari keinginan yang tidak baik. Sudah ada role modelnya tuh, nabi Muhammad sebagai panutan yang paling baik yang bisa dicontoh. Tinggal bagaimana kita mengaplikasikan segala perilaku Rasul baik itu dalam berpikir, bersikap, berorganisasi, bergaul, yang insyaAllah apabila kita bisa minimal mengikuti salah satunya maka kita akan merasakan sedikit ada yang berubah dengan diri kita. Meskipun saya juga baru memulai, tapi setidaknya kita berjuang bersama-sama. Yakin deh, baper yang ini baik untuk jiwa dan raga.

Bukankah manusia pasti punya perasaan, bukankah itu yang membedakan kita dengan hewan? Sejatinya baper itu fitrah, tapi kalau salah arah akan membuat masalah. Jadi, baper itu tidak masalah selama kita bisa menempatkan sesuai porsinya. Bahkan, baper akan membuat kita lebih peka terhadap orang lain dan bagaimana harus bersikap. Baper bisa membuat kita lebih bersyukur, pun juga bisa mendekatkan kita pada Sang Pencipta. Maka, baperlah pada tempatnya karena jika kita baper sembarangan dampaknya juga buruk. Orang yang baper biasanya mudah tersinggung, mudah galau, mudah percaya, gampang buat di rayu, mudah berprasangka, supaya kita bisa baper pada tempatnya maka gunakanlah juga akal. Akal, perasaan, hati kudu sejalan dong. Jangan hanya bawa perasaan saja tapi akalnya juga harus digunakan. Jangan hanya akal saja tapi perasaannya juga harus dibawa. Jadi harus seimbang sesuai dengan kata hati. Bukankah Allah sudah berfirman dalam firman-Nya: Katakanlah: “Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati”. (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur. (Q.S. Al-Mulk: 23)


Nah, masih mau jadi kader yang baper?
 
;